Selasa, 09 November 2010

Negeri Para Pembohong (Kegelisahan seorang anak negeri)

Beberapa hari belakangan ini aku merasa amat muak mendengarkan atau membaca berita. Orang-orang berpangkat, berkedudukan tinggi, mengaku ahli hukum, berpakaian necis, tapi mulutnya tak lebih daripada seorang pembual begitu bodohnya mempermainkan logika waras. Mereka kira orang tidak tahu bahwa mereka berbohong. Mereka pikir, tak ada orang yang masih bisa berpikir waras. Muak… betul-betul muak. Inilah wajah negeri yang compang-camping itu. Lihat saja:

1.Seorang jenderal polisi begitu entengnya, sambil senyum-senyum, tanpa beban dan tanpa rasa salah membual di depan wakil rakyat menjelaskan asal-muasal munculnya istilah cicak-buaya. Lewat tayangan televisi orang tahu, istilah itu dilontarkan sang jenderal untuk membuktikan kekuasaannya menghadapi seterunya, KPK. Tapi, di depan para dewan kita mendengar yang sebaliknya. Tayangkan saja apa yang direkam televisi jauh sebelum pernyataan jenderal itu di depan dewan, dan bandingkan dengan apa yang ia ungkapkan di depan dewan! Orang akan dengan mudah menangkap: BOHONG BESAR apa yang ia katakan di depan dewan itu. Sayang seribu sayang, para dewan cuma bisa mengangguk-angguk bak sapi yang sedang menarik pedati. Mereka seolah emoh tahu bahwa istilah itu—dan kasus di balik pemunculannya, tentu saja—telah menjadi pemicu penghabisan energi berkepanjangan. Oh, dasar negeri para pembohong!!!

2.Di depan dewan pula sang jenderal menceritakan bahwa pemeriksaan dan pemberkasan terhadap Anggoro dilakukan di KBRI Singapura. Pernyataan ini, seingat saya juga dia nyatakan dalam wawancara dengan stasiun televisi. Eh, tak selang minggu, Duta Besar RI untuk Singapura menyatakan, “Tidak ada pemeriksaan Anggoro di KBRI!!”. Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

3.Selintas tadi pagi saya dengar di sebuah televisi; seorang pengacara dengan berapi-api penuh percaya diri mengatakan, “Saya ini bermaksud membersihkan KPK, tapi merasa mendapatkan perlawanan dari banyak pihak!!” Padahal, klien sang pengacara yang mulia ini dengan terang-benderang di hadapan publik sudah mengakui bahwa dirinya telah memberikan miliaran uang untuk kasus kakaknya yang ditangani KPK melalui Ary Muladi. Tak ada logika waras yang membenarkan bahwa cara untuk membersihkan KPK—kalau benar ada oknum KPK yang korup—adalah dengan menyetor uang, APA PUN ALASANNYA!! Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

4.Baru kemarin saya dengar Pak Jaksa Agung begitu yakin bahwa kasus Chandra didukung bukti kuat. Dengan gaya seorang the great story teller, Pak Jaksa Agung berupaya meyakinkan para anggota dewan bahwa terdapat petunjuk-petunjuk kuat untuk tetap meneruskan kasus Chandra; “Tak diperlukan bukti akurat!” begitu Sang Jaksa Agung berceloteh. Ia lalu menganalogikan hal itu dengan sepasang laki-laki dan perempuan bukan suami-istri yang masuk sebuah kamar hotel. “Tak perlu bukti akurat untuk meyakini telah terjadi perzinahan!” katanya. Ah… analogi yang terlalu simplisistis, hati saya bilang. Dan, apa yang terjadi? Tadi pagi saya lihat di running text sebuah stasiun televisi: kejaksaan kembalikan berkas ke polisi!! Oh, dasar negeri para pembohong!!!!

Tuhan, aku muak… jijik dengan orang-orang semacam itu; orang-orang yang tak tahu malu memamerkan kebohongan di mana-mana. Tuhan… seandainya aku jadi Engkau, aku akan tetapkan sebuah hukum di negeri ini: siapa berbohong, saat itu juga mulutnya akan ndower sepanjang 1 meter dan tak akan pernah pulih lagi! Barangkali dengan begitu orang akan kapok berbohong, dan dengan begitu berakhirlah kisah NEGERI PARA PEMBOHONG ini!!!!!

Modal Sosial, Guanxi, dan Kemiskinan

Modal Sosial, Guanxi dan Kemiskinan

Pendahuluan

Adalah sebuah paradoks bahwa pembangunan (ekonomi) yang salah satu tujuannya menghapus atau setidak-tidaknya mengurangi kemiskinan, dalam realitasnya justru sering kali menimbulkan kemiskinan baru. Bahkan, lebih daripada sekadar paradoks, realitas kemiskinan diyakini atau paling tidak disinyalir justru merupakan salah satu produk pembangunan (Arif, 1999).

Dalam konteks itulah pembicaraan mengenai modal menjadi amat relevan sebab faktanya orang kerap kali menjadi miskin (mengalami pemiskinan) dalam proses pembangunan karena orang tersebut tidak memiliki cukup modal.
Dalam literatur ekonomi modal didefinisikan sebagai faktor-faktor produksi yang pada suatu ketika atau di masa depan diharapkan bisa memberikan manfaat atau layanan-layanan produktif atau productive services (Robert M. Solow dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Secara spesifik, modal dalam literatur ekonomi merujuk pada modal fisik (physical capital) dan modal manusia (human capital). Modal fisik di situ mengacu pada barang-barang yang kelihatan (tangible), keras, dan sering kali tahan lama (durable) seperti bangunan pabrik, peralatan, mesin, dan persediaan (inventory) (Hanson, 1974).

Yang tampaknya luput dari perhatian para ahli ekonomi ketika mereka merumuskan berbagai jenis modal adalah bahwa manusia sebagai aktor bertindak tidak semata-mata digerakkan oleh tujuan, atas dasar kepentingan pribadi, dan bersifat independen. Dalam kenyataannya, tindakan manusia—juga tindakan ekonomisnya—juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan.

Dalam skala kecil, aktivitas arisan bisa dirujuk sebagai contoh. Bisa saja orang mengikuti arisan karena ia memiliki tujuan tertentu, didasarkan pada kepentingan pribadi, dan tidak dipaksa oleh siapa pun (independen). Pertanyaannya, bagaimana bisa ia memercayakan uangnya (dalam bentuk iuran per periode) pada suatu kelompok tanpa jaminan apa pun? Bagaimana bila sebelum ia mendapatkan kembali uangnya, semua anggota yang telah lebih dulu mendapatkan tidak mau melanjutkan iurannya atau bahkan melarikan diri? Mengapa ia tidak menabungkan saja iurannya tersebut di bank yang lebih aman dan bahkan mendapatkan bunga? Faktor apa yang membuat para peserta arisan mengabaikan semua pertanyaan tersebut?
James S. Coleman memberikan contoh serupa dalam artikelnya yang berjudul Social capital in the creation of human capital (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Apa yang biasa terjadi di pasar-pasar grosir permata—demikian Coleman bercerita—akan menjadi sebuah pemandangan yang luar biasa aneh bagi orang-orang yang bukan pemain perdagangan grosir permata (outsider). Dalam proses negosiasi penjualan, seorang pedagang permata akan memberikan begitu saja sekopor permata kepada penjual lain untuk dicek kualitas dan keaslian permata-permata tersebut. Penjual kedua baru akan melakukan pengecekan dalam waktu senggangnya (artinya tidak saat itu juga) dan ia tidak perlu memberikan jaminan apa pun kepada penjual pertama bahwa ia tidak akan mengambil atau menukar—sebagian atau seluruhnya—permata yang ada di dalam kopor tersebut. Permata dalam kopor tersebut bisa bernilai ribuan atau bahkan ratusan ribu dolar. Apa yang membuat penjual pertama percaya begitu saja pada penjual kedua?

Aksi sosial semacam arisan, “peminjaman” sekopor permata kepada seorang pedagang dalam proses perdagangan grosir permata, atau kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-saudara di kampung halaman yang biasa dilakukan orang-orang Karibia yang berada di perantauan pada akhirnya akan memiliki dampak ekonomis. Celakanya, hasil-hasil ekonomis yang ada tidak bisa dijelaskan sepenuhnya sebagai hasil input tenaga kerja, tanah, dan modal fisik sebagaimana yang secara tradisional dipahami selama ini (Grootaert, 2001). Artinya, ada sesuatu di luar modal fisik dan modal manusia yang nyata-nyata juga berpengaruh terhadap perekonomian perorangan (individual), keluarga (household) dan suatu bangsa (nation).
Dalam pandangan para sosiolog, “sesuatu” itulah yang kemudian dikenal sebagai modal sosial (social capital). Terdapat berbagai definisi mengenai modal sosial ini. Salah satunya menurut Christiaan Grootaert dan Tierry van Bastelaer. Mereka mendefinisikan modal sosial sebagai “… (I)nstitutions, relationships, attitudes, and values that govern interactions among people and contribute to economic and social development” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Sementara bagi Putnam, modal sosial memiliki tiga bentuk, yakni kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (networks) (Huang, 2003).

Terlepas dari berbagai definisi yang diajukan oleh para ahli, modal sosial telah menjadi bahan perbincangan yang menarik dan relevan ketika orang berbicara tentang pembangunan dan kemiskinan. Sebab, masih menurut Grootaert dan Bastelaer,
“Since it first entered conceptual and empirical debates, social capital has captured the imagination of development researchers and practitioners as a particularly promoting tool for alleviating poverty” (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002).

Konsep modal sosial yang dimunculkan oleh para ahli sosiologi di atas melengkapi atau mengisi celah yang selama itu tidak diperhatikan oleh para ahli ekonomi ketika memahami modal dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi.

Dengan mendasarkan diri pada pemahaman bahwa modal sosial memberikan sumbangan berarti bagi pembangunan (ekonomi) pada umumnya dan pengurangan kemiskinan pada khususnya, menarik untuk memerhatikan betapa kelompok etnis tertentu mampu meraih prestasi (achievement) dan pencapaian-pencapaian (attaintments) lain dalam derajat yang lebih tinggi dibanding etnis lain. Dalam hal ini, Coleman telah menunjukkan bahwa keluarga dan masyarakat dengan modal sosial yang tinggi mampu mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi kelas yang lebih independen dibandingkan dengan keluarga atau masyarakat dengan modal sosial yang rendah (Dwyer, 2006). Secara lebih spesifik, Zhou (2004) bahkan telah menggunakan konsep yang dikemukakan Coleman tersebut untuk menjelaskan keberhasilan kelompok etnis di Amerika Serikat dalam menuntut pendidikan formal (Dwyer, 2006). Karena itu, tak mengherankan bila etnisitas pun dikategorikan sebagai sebuah bentuk modal sosial (Bates, 1999).

Dalam konteks etnisitas sebagai sebuah bentuk modal sosial yang memengaruhi keberhasilan-keberhasilan dan pencapaian-pencapaian tertentu bagi suatu kelompok etnis tertentu, layak dibahas bagaimanakah kaitan pola relasi yang khas pada masyarakat Tionghoa dengan kemiskinan yang mereka alami. Pola relasi yang khas yang merupakan konsep sentral dalam masyarakat Tionghoa ini dikenal sebagai Guanxi, yang dalam bahasa Tionghoa secara sederhana bermakna hubungan (relationship) di antara orang-orang atau benda (Huang, 2003).
Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan benang merah antara modal sosial, etnisitas yang secara spesifik akan menyoroti guanxi sebagai pola hubungan yang khas etnis Tionghoa, dan bagaimana semua itu bisa menjelaskan kemiskinan yang dialami etnis Tionghoa.

Modal Sosial

Makna modal sesungguhnya telah diperkenalkan oleh Adam Smith ketika ia menerbitkan An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), terutama ketika ia membahas mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth). Tak urung, sejak itulah istilah modal menjadi sangat populer, terutama di kalangan para ahli ekonomi. Oleh Smith, istilah di atas dipakai berdampingan dengan istilah lain yang juga menjadi amat populer: pembagian kerja (division of labor). Bagi Smith, pertumbuhan ekonomi akan terjadi bila terdapat pembagian kerja karena dengan pembagian kerja itulah produktivitas meningkat. Sementara itu, pembagian kerja ini mensyaratkan adanya akumulasi modal karena dengan melakukan akumulasi modal itulah para pemilik modal akan membayar para pekerjanya dan membeli mesin-mesin serta peralatan produksi.

Yang menarik, sekitar satu abad kemudian muncul istilah modal dalam konteks yang sama sekali terlepas dari literatur ekonomi: modal sosial. Istilah tersebut muncul pada awal abad ke-19 (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Namun demikian, tampaknya konsep di atas baru mendapatkan perhatian serius para praktisi dan akademisi pada akhir abad ke-19. Qihai Huang mencatat, antara tahun 1951 – 1981 konsep mengenai modal sosial hanya muncul di 2 buah artikel, demikian juga antara tahun 1981 – 1990; tahun 1991 – 1995 digunakan di 18 artikel; dan antara tahun 1996 – 2000 muncul di 318 artikel (Huang, 2003).
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, konsep modal sosial bukanlah konsep yang berasal dari literatur ekonomi, melainkan dari literatur sosiologi. Oleh karena itu, bagi para ekonom, istilah modal sosial sering kali membingungkan bahkan kurang dikenal. Lebih tepatnya: istilah ‘modal’ dalam modal sosial dipakai dalam pengertian yang sering kali tidak konsisten dengan istilah ‘modal’ dalam ilmu ekonomi (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Memang, sebagaimana modal dalam pengertian ekonomi, modal dalam konteks modal sosial pun membutuhkan investasi awal dan maintenance terus-menerus dengan ekspektasi hasil (return) di masa yang akan datang. Namun demikian, modal sosial tidak bisa diperjualbelikan di pasar terbuka, tidak bisa dibangun secara individual, dan tidak berkurang (ekonomi: depresiasi) tetapi justru akan bertambah bila digunakan (Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999).

Pada umumnya dikenal tiga arus utama (main streams) teori modal sosial. Pertama, teori Putnam dan Fukuyama; kedua, teori Coleman; dan ketiga, teori Bourdieu. Dari ketiga arus utama tersebut, teori pertama-lah yang paling mendominasi dalam berbagai penelitian di Barat.
Begitupun, baik Putnam, Coleman maupun Bourdieu sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah sumber daya (resource). Namun demikian, Coleman cenderung memandang modal sosial sebagai sumber daya-sumber daya sosial yang tersedia bagi individu-individu dan keluarga untuk mencapai mobilitas sosial. Secara spesifik, Coleman berpendapat bahwa modal sosial merupakan sumber daya yang bisa memfasilitasi individu dan keluarga memiliki sumber daya manusia (human capital) yang memadai (Winter, 2000). Sementara itu, Putnam melihatnya sebagai sokongan bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) dan sesuatu yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan pembentukan institusi-institusi demokratis. Putnam dengan tegas mengemukakan betapa masyarakat sipil dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Secara spesifik ia menyatakan bahwa agar demokrasi bisa berjalan diperlukan masyarakat sipil yang kuat dan aktif (Cox, 1995). Sedangkan Bourdieu memandang modal sosial terkait dengan bagaimana kekuasaan dan ketimpangan (inequalities) dihasilkan di dalam jejaring-jejaring sosial (Dwyer, 2006). Justru karena itu, Bourdieu dalam mendefinisikan modal sosial memberikan penekanan pada jejaring sosial (social networks) yang memberikan akses terhadap sumber-sumber daya kelompok (Winter, 2000). Dengan memiliki akses terhadap sumber daya kelompok (group resources) diharapkan seorang individu pada akhirnya akan menikmati manfaat ekonomis. Bagi Bourdieu, manfaat ekonomis ini hanya akan dinikmati individu apabila ia secara terus-menerus terlibat dalam kelompok tersebut (Winter, 2000). Dalam konteks inilah, modal sosial dipahami sebagai sesuatu yang bersifat instrumental.

Bagi Putnam, ide modal sosial muncul terkait dengan pertanyaan mengenai syarat-syarat perlu (necessary conditions) apakah yang dibutuhkan untuk menciptakan berbagai institusi yang kuat, responsif dan efektif. Terkait dengan itu, Putnam mengukur modal sosial dengan pola-pola pemungutan suara (voting), jumlah pembaca tetap surat kabar (newspaper readership), dan partisipasi di dalam perkumpulan-perkumpulan olahraga dan budaya. Putnam mengidentifikasi tiga hal yang tercakup dalam modal sosial, yakni trust (kepercayaan), norms (norma), dan networks (jejaring).

Sementara itu, penelitian Fukuyama mengenai modal sosial mencakup wilayah yang lebih luas dibanding wilayah penelitian Putnam. Fokus Fukuyama adalah menjelaskan mengapa beberapa negara secara ekonomis bisa lebih berhasil daripada negara lain. Dalam hal ini, Fukuyama memandang modal sosial sebagai trust, kemampuan orang-orang (masyarakat) bekerja bersama untuk tujuan umum (collective action) dalam kelompok atau organisasi.
Coleman (1988,1990) menyejajarkan modal sosial dengan modal-modal lain. “Social capital paralleling the concepts of financial capital, physical capital and human capital, but embodied in relations among persons.” (Huang, 2003). Bagi Coleman, modal sosial memiliki tiga bentuk: pertama, kewajiban dan harapan (obligation and expectation) yang didasarkan pada keterpercayaan (trustworthiness) lingkungan sosial; kedua, kapasitas aliran informasi struktur sosial; dan ketiga, norma-norma yang dijalankan dengan berbagai sanksi. Bagaimanakah kaitan antara kewajiban dan harapan yang didasarkan keterpercayaan lingkungan sosial bisa dijelaskan? Coleman menggambarkan sebagai berikut. Taruhlah Si A melakukan suatu kebaikan kepada Si B dan ia menaruh kepercayaan (trust) kepada si B bahwa suatu hari nanti si B akan membalas kebaikan itu. Proses tersebut di satu sisi memunculkan harapan (expectation) bagi A dan di sisi lain menimbulkan kewajiban (obligation) bagi si B. Kewajiban tersebut akan menjadi “slip kredit (credit slip)” yang dipegang A untuk kinerja (performance) B. Karena dalam realitasnya Si A tidak hanya melakukan kebaikan kepada Si B, tetapi juga kepada Si C, Si D, Si E, dst, Si A pada dasarnya memiliki serangkaian slip kredit yang sewaktu-waktu bisa ia gunakan ketika ia membutuhkan (Coleman dalam Partha Dasgupta & Ismail Serageldin, 1999). Karena itu, bagi Coleman, bentuk modal sosial tergantung pada dua elemen. Pertama, keterpercayaan lingkungan sosial; artinya bahwa kewajiban pasti akan dilunasi dan kedua, luas aktual berbagai kewajiban (the actual extent of obligations).

Sedangkan Bourdieu mendefinikan modal sosial sebagai “the aggregate of the actual and potential resources that are linked to the possession of a durable network of relationships or mutual acquaintance and recognition” (Huang, 2003). Ia membedakan modal sosial sebagai salah satu bentuk modal dengan modal ekonomi (sumber-sumber keuangan dan aset) dan modal kultural (pengetahuan, buku dan lukisan, pendidikan).

Di luar pengertian-pengertian mengenai modal sosial menurut beberapa tokoh di atas, Woolcock dan Narayan (2000) mensintesiskan berbagai pengertian modal sosial dalam literatur sosiologi dan dari hasil sintesis tersebut mereka menyusun 4 kategori modal sosial. Keempat kategori tersebut memang berbeda, tetapi tidak saling bertentangan satu dengan yang lain (Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds), 2002). Pertama, perspektif komunitarian. Dari perspektif ini, modal sosial digambarkan dalam pengertian organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok lokal. Perspektif ini membantu para praktisi pembangunan untuk memusatkan perhatian pada peran relasi sosial dalam mengurangi kemiskinan. Kedua, perspektif jejaring (network). Perspektif jejaring mendefinisikan modal sosial dengan mengacu pada berbagai hubungan (relasi) antara antara berbagai perkumpulan (asosiasi) vertikal dan horisontal. Dalam sudut pandang ini, berbagai hubungan tersebut dibedakan menjadi hubungan interkomunitas dan hubungan antarkomunitas. Ketiga, perspektif institusional. Dari sudut pandang ini diketahui bahwa lingkungan institusional, legal dan politis (institutional, legal, and political environment) merupakan penentu penting dan utama kuat-tidaknya jejaring masyarakat. Keempat, perspektif sinergi. Perspektif ini memusatkan perhatian pada berbagai hubungan di antara dan di dalam berbagai pemerintah dan masyarakat sipil. Pada dasarnya, perspektif sinergi ini mendasarkan diri pada asumsi bahwa tak satu pun aktor atau pelaku pembangunan (negara, swasta, dan masyarakat) mempunyai akses sendiri terhadap sumber-sumber daya yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan yang adil dan berkelanjutan.

Konsep dan interpretasi mengenai modal sosial memang sangat banyak dan beragam, tetapi tampaknya muncul sebuah konsensus bersama bahwa pada dasarnya modal sosial berarti kemampuan para pelaku (aktor) untuk mengamankan berbagai manfaat (benefits) melalui nilai-nilai luhur keanggotaan dalam jejaring sosial atau struktur-struktur sosial lain (Grootaert, 2001). Dalam konteks inilah Grootaert menekankan peran penting berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal. Bagi Grootaert, berbagai perkumpulan atau asosiasi lokal tersebut memainkan peran dalam tiga cara. Pertama, berbagi informasi di antara para anggota perkumpulan; kedua, mengurangi berbagai perilaku oportunistik; dan ketiga, memfasilitasi pengambilan keputusan kolektif (Grootaert, 2001).

Sekalipun modal sosial memungkinkan orang atau sekelompok orang (masyarakat) memperoleh sesuatu yang bermanfaat dan produktif, modal sosial sekaligus juga memiliki potensi menyebabkan eksternalitas negatif. Aldridge (2002), misalnya, sebagaimana dimuat dalam Social Capital mengemukakan bahwa modal sosial mendorong perilaku yang memperburuk dan bukannya memperbaiki kinerja ekonomi; berlaku sebagai hambatan bagi inklusi sosial dan mobilitas sosial; membuat masyarakat terbagi-bagi dan bukannya menyatu; bisa memfasilitasi tindakan kriminal (bukan mengurangi) (Social Capital, 2008).
Hunter (2000), Moorow (1999), dan Szreter (2000) juga menyatakan bahwa jenis-jenis kelompok dan asosiasi memang bisa membangkitkan modal sosial tetapi sekaligus selalu juga memiliki potensi untuk meniadakan (exclude) yang lain (Social Capital, 2008).

Guanxi

Kata “guanxi” secara etimologis berasal dari dua kata; guan yang berarti pintu (noun) atau mengamati dari dekat (verb) dan xi yang berarti mengikat atau menghubungkan (verb) atau sebuah sistem atau sebuah jejaring (noun).

Bagi orang Chinesse, secara sederhana guanxi berarti hubungan, tetapi juga bisa berarti penggunaan otoritas seseorang (the use of someone’s authority) untuk memperoleh manfaat ekonomis atau politis oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (unethical persons) (Huang, 2003). Yang (1994) sebagaimana dikutip Huang mengemukakan bahwa guanxi ini dibangun dan dijaga melalui saluran-saluran formal dan pribadi seperti jamuan ramah tamah dan hadiah (Huang, 2003).

Hwang (1987) mengidentifikasi tiga jenis relasi personal di dalam pertukaran sosial (social exchange) masyarakat Tionghoa. Pertama, ikatan ekspresif yang pada umumnya terjadi di antara para anggota keluarga, sahabat dekat, dan kelompok-kelompok lain yang menyenangkan. Kedua, ikatan instrumental yang didasarkan pada pencapaian sasaran spesifik dan terjadi di antara dua orang yang saling berinteraksi dalam jangka waktu pendek. Misalnya antara wiraniaga dan pembeli. Ketiga, ikatan campuran yang terjadi antarorang yang saling mengenal dan berharap untuk bisa saling berinteraksi dalam jangka waktu yang lama. Bagi Hwang, jenis ketiga inilah yang bisa digolongkan sebagai guanxi dengan fungsi instrumental (Huang, 2003).
Bertitik tolak dari asumsi bahwa guanxi didasarkan pada basis hubungan jangka panjang, dengan sendirinya guanxi mensyaratkan adanya resiprositas1 dan keterpercayaan. Bahkan, guanxi tidak mungkin terjadi tanpa trust.

Collective Action

Atas dasar norma dan nilai-nilai luhur yang ada, sering kali suatu etnis tertentu memiliki tindakan bersama (collective action) yang entah langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat etnis yang bersangkutan. David Mosse (2006) dalam penelitiannya di Daratan Tamil Tenggara menemukan perbedaan perilaku antara orang-orang Vayalur dan orang-orang Alapuram dalam kaitan dengan pengelolaan air. Baik Vayalur maupun Alapuram adalah daerah yang sama-sama tandus. Di Vayalur ia menemukan bahwa penduduk desa itu memiliki tindakan bersama yang sangat positif menyangkut ketersediaan air yang langka di sana. Misalnya, para penduduk desa secara kolektif bersama-sama menjaga keamanan persediaan air, bisa bernegosiasi dengan para penduduk desa yang ada di atasnya, mereka juga menaati aturan spesifik penggunaan air selama masa kekeringan, mereka bahkan memiliki sistem distribusi air yang dikerjakan oleh seorang spesialis. Sebaliknya adalah yang terjadi di Alapuram. Di sana tidak ada pengambilan keputusan secara kolektif, tidak ada aturan formal mengenai pengalokasian dan pendistribusian air, tidak ada seorang spesialis irigasi.

Masih terkait dengan aksi kolektif, masyarakat Karibia memiliki karakteristik yang amat unik. Tak peduli betapa mereka terpisahkan secara geografis, jejaring keluarga mereka sangat kuat. Harry Goulbourne (2006) menulis, “The Carribean families have been able to sustain itself through its ability to maintain strong transnational ties and network, which are valued as a central aspect of Carribean society.”

Tampaknya, ikatan transnasional masyarakat Karibia tersebut didorong oleh kebutuhan dasar bahwa masing-masing individu harus memelihara hubungan keluarga. Wujud konkret dari ikatan transnasional itu adalah pengiriman uang dari orang-orang yang tinggal di negara lain kepada sanak-saudara yang tinggal di Karibia.
Pengiriman uang semacam itu, sekalipun juga memiliki potensi negatif, sedikit banyak pasti membantu sanak famili apalagi yang secara ekonomis memang berkekurangan.

Guanxi dan Kemiskinan

Bila benar bahwa modal sosial akan memengaruhi kesejahteraan keluarga dan individu, muncul pertanyaan praktis: bagaimanakah hal itu bisa terjadi? Selanjutnya, bila dalam kenyataannya etnisitas merupakan salah satu bentuk modal sosial dan modal sosial bisa memengaruhi secara positif kesejahteraan individu dan keluarga, bagaimanakah mengaitkan guanxi sebagai sebuah bentuk hubungan khas etnis Tionghoa dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian dari mereka?

Tampaknya, pengaruh positif yang diberikan oleh modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut memengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan aksi kolektif (collective action) (Grootaert, 1999). Dalam kaitan inilah apa yang dikemukakan Grootaert mengenai peran perkumpulan atau asosiasi lokal sebagai wahana distribusi informasi dan pertukaran pengetahuan (exchange of knowledge) menjadi relevan. Orang sering kali tidak bisa mengakses kredit dan tidak memiliki keahlian melakukan akumulasi aset karena tidak memiliki informasi atau tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Dengan kata lain, peluang seseorang untuk mendapatkan akses kredit dan melakukan akumulasi aset menjadi terbuka ketika ia memiliki informasi tentangnya atau memiliki pengetahuan tentangnya. Dan, informasi serta pengetahuan tersebut bisa diperoleh seseorang pada perkumpulan atau asosiasi yang di dalamnya ia terlibat.

Sekalipun demikian, Grootaert (1999) memberikan catatan bahwa seberapa jauh keanggotaan seseorang di dalam suatu perkumpulan atau kelompok memberikan manfaat ekonomis (akses terhadap kredit dan akumulasi aset), sangat tergantung pada dua hal. Pertama, heterogenitas anggota kelompok dan kedua, partisipasi individu dalam pengambilan keputusan kelompok.

Menurut Grootaert, semakin heterogen karakteristik keanggotaan suatu kelompok, semakin tinggi manfaat bagi akses terhadap kredit dan akumulasi aset. Di sisi lain, semakin individu terlibat dalam pengambilan-pengambilan keputusan kelompok (dengan demikian sekaligus mengandaikan intensitas kehadiran dalam pertemuan-pertemuan kelompok tersebut) semakin tinggi manfaat yang akan diperoleh individu dalam kelompok tersebut.

Yang menarik, berbeda dengan yang terjadi pada akumulasi aset dan akses terhadap kredit, aksi kolektif (collective action) lebih mudah dilakukan dalam sebuah kelompok yang homogen. Dengan demikian, masih menurut Grootaert, homogenitas atas dasar sanak famili, kasta, latar belakang etnis dan agama akan mempermudah terjadinya aksi kolektif di atas. Dalam hal ini pun Grootaert berkesimpulan bahwa semakin sejahtera kehidupan ekonomi suatu keluarga, semakin kurang terlibat dalam aksi kolektif keluarga tersebut.

Dengan demikian, bagaimanakah menjelaskan kejadian kemiskinan yang dialami sebagian masyarakat Tionghoa sementara mereka memiliki pola relasi yang khas, yang disebut guanxi?
Pertama. Kemiskinan pada satu sisi bisa dipandang sebagai akibat terdepaknya seorang individu atau keluarga di dalam arena ekonomi pasar. Semua makfum bahwa ekonomi pasar yang mengusung agenda modernisasi secara sosiologis menuntut semakin tingginya kemampuan dan skill seseorang (human capital) atau cultural capital menurut istilah Bourdieu (Huang, 2003).
Menurut Bourdieu, cultural capital tersebut menunjuk pada embodied capital (misalnya pengetahuan dan kebiasaan); objectivied capital (misalnya buku-buku) dan institusionalised capital (dalam bentuk pendidikan) (Huang, 2003). Artinya, bila seseorang tidak mampu mentransformasi kemampuan dan skill-nya dalam kancah modernisasi ini, cepat atau lambat secara alamiah ia akan tersingkirkan. Bagi Coleman sebagaimana dikemukakan Winter (2000), modal manusia tersebut terfasilitasi oleh adanya norma-norma yang diikuti sanksi yang efektif.

Dalam perspektif inilah kita melihat pentingnya keluarga dan masyarakat sebagai sumber modal sosial. Jadi, bila sebagian masyarakat Tionghoa ada yang mengalami kejadian kemiskinan—dari sudut pandang modal sosial—perlu ditelisik apakah keluarga dan masyarakat sekitar merupakan keluarga dan masyarakat yang cukup mewarisi dan teguh mewariskan norma-norma yang mendukung peningkatan sumber daya manusia sehingga memungkinkan terjadinya mobilitas sosial.

Kedua. Guanxi selalu mencakup tiga hal, yakni relasi personal; pemanfaatan relasi personal yang ada; dan kewajiban serta resiprositas (Huang, 2003). Relasi personal akan membangun sebuah informal network. Sementara kewajiban dan resiprositas akan membangun trust dan credit slip. Baik network, trust, maupun credit slip idealnya bisa memfasilitasi seseorang atau keluarga memperoleh sumber-sumber ekonomis sehingga mereka bisa terlepas dari kejadian kemiskinan. Oleh karena itu, kejadian kemiskinan yang diderita oleh sebagian kaum Tionghoa bisa jadi merupakan akibat ketidakmampuan mereka memanfaat guanxi. Tapi, di sisi lain, mungkin pula mereka kehilangan network karena mereka pada dasarnya tidak memiliki credit slip. Ini bisa terjadi, misalnya karena mereka tidak mampu memenuhi norma-norma yang disyaratkan guanxi (kewajiban dan resiprositas). Hal tersebut bisa dijelaskan melalui realitas bahwa guanxi sebagai bentuk khas relasi personal dimengerti dalam konteks dua pribadi yang sama-sama menjaga dan memelihara nilai penting hubungan (relationship) di antara keduanya. Bagaimana mungkin relasi personal semacam itu bisa dipertahankan tanpa adanya kewajiban dan resiprositas? Di sisi yang lain lagi, bisa jadi etnisitas yang mestinya bisa menjadi petunjuk terhadap faktor sosial-kultural seperti akar sejarah, kenangan, mitos, adat kebiasaan, nilai, dsb. sesungguhnya telah luntur. Artinya, guanxi sebagai bentuk relasi khas kaum Tionghoa sudah tidak lagi dihayati atau bahkan “hilang” dari khazanah perbendaharaan kata kaum Tionghoa sendiri. Dengan lunturnya guanxi, dengan sendirinya luntur pula relasi pribadi yang khas di antara mereka.

Ketiga. Secara sosiologis, orang cenderung atau suka berkumpul dalam kelompok yang homogen. Celakanya, Christiaan Grootaert (1999) menengarai bahwa kelompok yang para anggotanya homogen (internally homogeneous) lebih banyak memfasilitasi adanya collective action dan terutama dalam hal menjaga aset bersama (common property), tetapi tidak cukup signifikan untuk membantu membuka akses terhadap kredit dan akumulasi modal dibandingkan dengan kelompok yang heterogen. Dari sudut pandang ini, beberapa pertanyaan bisa dimunculkan untuk menjawab kejadian kemiskinan pada sebagian masyarakat Tionghoa. Apakah mereka terlibat dalam kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi? Bagaimana karakteristik kelompok atau organisasi tersebut: homogen atau heterogen? Apakah mereka juga terlibat aktif dalam pengambilan keputusan?

Penutup

Benar bahwa modal sosial secara tidak langsung bisa menjadi alat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Narayan dan Pritchett (1997) sebagaimana dikemukakan Grootaert (2001) menunjukkan secara ekonomis bahwa kepemilikan modal sosial oleh keluarga-keluarga di Tanzania memiliki pengaruh yang amat besar terhadap kesejahteraan keluarga-keluarga di sana. Dan, sebagaimana telah ditunjukkan di atas, etnisitas pun merupakan suatu bentuk modal sosial.
Dalam kaitan dengan etnisitas sebagai modal sosial di atas, guanxi yang merupakan bentuk relasi personal khas kaum Tionghoa pun merupakan modal sosial. Dengan demikian, secara teoretis guanxi harus mampu membantu sebagian keluarga Tionghoa yang mengalami kejadian kemiskinan.
Bertolak dari rentetan pemikiran tersebut, upaya mengatasi kemiskinan yang terjadi di kalangan kaum Tionghoa sangat boleh jadi memerlukan pendekatan yang amat berbeda dengan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan pada umumnya. Bagaimana dengan etnis yang lain? Apakah tidak mungkin bahwa kemiskinan yang dialami oleh etnis tertentu perlu penanganan spesifik dan khas yang berbeda dengan penangan kemiskinan pada etnis yang lain? Bila jawabannya adalah ya, artinya, menganggap sebuah strategi tertentu untuk mengatasi kemiskinan pasti merupakan strategi efektif untuk semua kasus kemiskinan merupakan anggapan yang terlampau tergesa-gesa!
Daftar Pustaka
-. (2006, Agustus). Guanxi. Retrieved Juni 2008, from www.wikipedia.com.
-. (n.d.). Is Social Capital Really Capital? Social Capital .
Amir, I. D. (2006). Trust: The Social Virtues and The Creation of Poverty (Tinjauan Buku).
Arif, S. (1999). Menolak Pembangunanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bates, R. H. (1999). Ethnicity, Capital Formation, and Conflict. CID Working Papers .
Christiaan Grootaert & Thierry van Bastelaer (eds). (2002). Understanding and Measuring Social Capital: A Multidisciplinary Tool for Practitioners. Washington DC: The World Bank.
Cox, E. (1995). Raising Social Capital. The 1995 Boyer Lectures. UNSW School of Public Health.
Dwyer, C. (2006). Ethnicity As Social Capital? Explaining the differential educational achievements of young British Pakistanis men and women. Ethnicity, Mobility and Society. Bristol.
Gouldbourne, H. (. (2006, August). Families, Social Capital and Etnics Identity of Carribeans, South Asians and South Europeans. Families & Social Capital ESRC Research Group .
Grootaert, C. (2001, Juni). Does Social Capital Help The Poor? Working Papers (The World Bank) .
Grootaert, C. (1999). Social Capital, Household Welfare And Poverty in Indonesia. Social Development Family (The World Bank) .
Hanson, J. (1974). A Dictionary of Economics and Commerce. London: The English Language Book Society (ELBS) and MacDonald and Evans Ltd.
Huang, Q. (2003). Social Capital in The West and China. Manchester Metropolitan University Business School Working paper Series .
Lang, R. E. (1998). What Is Social Capital and Why Is It Important to Public Policy? Housing Policy Debate VOl. 9 .
Mosse, D. (2006, April). Collective Action, Common Property, and Social Capital in South India: An Anthropological Commentary. Economic Development and Cultural Change .
Net, P. (. (2002, Oct). What Is Social Capital?
Rose, R. (1999). What Does Social Capital Do to Individual Welfare?: An Empirical Analysis of Russia. Social Capital Initiative (Working Paper No 15) .
Winter, I. (2000). Towards A Theorised Understanding of Family Life and Social Capital. Australian Institute of Family Studies .
1 Resiprositas dalam konsep tradisional China adalah bao yang berarti seseorang memberikan kemurahan hati kepada orang lain sebagai investasi sosial (social investment).

Senin, 31 Mei 2010

Konsinyering

Satu setengah bulan lalu saya bertemu sebuah kata yang benar-benar tidak bisa saya mengerti maksudnya: Konsinyering. Ikhwalnya, ada undangan untuk para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengikuti konsinyering. "Ah, sebodo amat!" kataku dalam hati waktu itu. Saya ketemu kata itu siang hari.

Besok malamnya, saya datang ke Hotel Le Meredian untuk tahu apa itu konsinyering. Tiba sekitar pukul 18.00, terlihat sajian makanan serba mewah--khas hotel bintang lima. Sayang, perut saya cukup kecil; jadi tidak mampu menikmati semua hidangan yang tersedia.

Dalam konsinyering itu, para anggota dewan yang terhormat "dikarantina" selama 3 hari 2 malam di hotel bintang lima untuk membahas secara intensif draft sebuah undang-undang yang sedang mereka garap.

"Oh, begitulah konsinyering," kesimpulan saya. Para anggota dewan dikarantina di sebuah hotel mewah, dengan makanan serba mewah, fasilitas serba lux, GRATIS! dan di akhir rapat mereka diberi uang saku. Harapannya, mereka bisa benar-benar fokus dan mencurahkan tenaga dalam membahas suatu persoalan tertentu.

Belakangan saya tahu, ternyata untuk membahas sebuah undang-undang, tidak cukup hanya sekali konsinyering. Untuk undang-undang "X" saja--yang saya tahu--sudah diadakan 3 kali konsinyering: di Bandung, di Hotel Le Meredien, dan di Shangri-La.

Saya bertanya-tanya, apa urgensinya konsinyering semacam itu? Saya tidak tahu pasti berapa anggarannya, tetapi saya kira sekali konsinyering bisa ratusan juta dihabiskan. Itu untuk satu komisi, satu rancangan undang-undang. Apakah di gedung parlemen mereka tidak bisa berapat sehingga perlu dikarantina di hotel? Gedung parlemen tidak kekurangan ruang rapat. Ruangannya pun ber-AC amat dingin. Setiap kali rapat disuguhi makanan. Jadi, mengapa harus ke hotel? Masih mending kalau ketika konsinyering di hotel itu para senator kita yang terhormat benar-benar berapat. Toh, ada juga yang cuma ngrokak-ngrokok, meninggalkan ruang rapat tanpa alasan yang jelas, di ruang rapat sibuk menghabiskan snack daripada mikirin draft undang-undang.

Huh... borosnya negara ini!!!

Konsinyering

Satu setengah bulan lalu saya bertemu sebuah kata yang benar-benar tidak bisa saya mengerti maksudnya: Konsinyering. Ikhwalnya, ada undangan untuk para anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengikuti konsinyering. "Ah, sebodo amat!" kataku dalam hati waktu itu. Saya ketemu kata itu siang hari.

Besok malamnya, saya datang ke Hotel Le Meredian untuk tahu apa itu konsinyering. Tiba sekitar pukul 18.00, terlihat sajian makanan serba mewah--khas hotel bintang lima. Sayang, perut saya cukup kecil; jadi tidak mampu menikmati semua hidangan yang tersedia.

Dalam konsinyering itu, para anggota dewan yang terhormat "dikarantina" selama 3 hari 2 malam di hotel bintang lima untuk membahas secara intensif draft sebuah undang-undang yang sedang mereka garap.

"Oh, begitulah konsinyering," kesimpulan saya. Para anggota dewan dikarantina di sebuah hotel mewah, dengan makanan serba mewah, fasilitas serba lux, GRATIS! dan di akhir rapat mereka diberi uang saku. Harapannya, mereka bisa benar-benar fokus dan mencurahkan tenaga dalam membahas suatu persoalan tertentu.

Belakangan saya tahu, ternyata untuk membahas sebuah undang-undang, tidak cukup hanya sekali konsinyering. Untuk undang-undang "X" saja--yang saya tahu--sudah diadakan 3 kali konsinyering: di Bandung, di Hotel Le Meredien, dan di Shangri-La.

Saya bertanya-tanya, apa urgensinya konsinyering semacam itu? Saya tidak tahu pasti berapa anggarannya, tetapi saya kira sekali konsinyering bisa ratusan juta dihabiskan. Itu untuk satu komisi, satu rancangan undang-undang. Apakah di gedung parlemen mereka tidak bisa berapat sehingga perlu dikarantina di hotel? Gedung parlemen tidak kekurangan ruang rapat. Ruangannya pun ber-AC amat dingin. Setiap kali rapat disuguhi makanan. Jadi, mengapa harus ke hotel? Masih mending kalau ketika konsinyering di hotel itu para senator kita yang terhormat benar-benar berapat. Toh, ada juga yang cuma ngrokak-ngrokok, meninggalkan ruang rapat tanpa alasan yang jelas, di ruang rapat sibuk menghabiskan snack daripada mikirin draft undang-undang.

Huh... borosnya negara ini!!!

Minggu, 25 April 2010

Beda Orang Jerman dan Orang Indonesia

Beberapa hari lalu saya berkesempatan menemani seorang wartawati Jerman yang sedang melakukan penelitian di Indonesia. Pada hari kedua, mendadak si wartawati ini sms saya, "Stefanus, aku besok ke dokter dulu." Lalu saya tanya, "Kamu sakit apa?" Dia membalas, "Kalau di Jerman, bertanya 'kamu sakit apa' itu tidak sopan!"
"Oh, maaf... maaf kalau tidak sopan!" Lalu saya sambung, "Tetapi ini Indonesia, bertanya 'kamu sakit apa' adalah tanda perhatian!"

Hari ketiga kami bertemu. Lalu berdiskusi. Saya agak lupa bagaimana ceritanya akhirnya diskusi masuk ke ranah korupsi. Oh, ya... dia sedang membahas mengenai distance power (kekuasaan yang berjarak: anak buah adalah subordinat pemimpin) dalam kaitannya dengan korupsi. Lalu saya tanya, "Kalau anak buah melakukan korupsi dan memberikan upeti kepada atasan; itu terjadi karena distance power tidak?"
Dia tidak menjawab, malah balik bertanya, "Apakah ada begitu? Di Indonesia terjadi?"
Saya jawab, "Tentu tidak semua; tapi case by case ada."
"Itu kalau di Jerman merupakan pengkhianatan," katanya.
"Oh, maaf... kalau di Indonesia itu bukti kesetiaan," saya jawab. Hahahaha...

Rabu, 02 Desember 2009

Jaksa Ester dan Mbah Minah

Beberapa televisi swasta hari ini menyiarkan vonis yang dijatuhkan kepada Jaksa Ester. Jaksa Ester adalah Jaksa yang dituduh menggelapkan barang bukti berupa 300 butir ekstasi. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara; 6 bulan lebih ringan daripada tuntutan jaksa.

Ketika mendengar berita di atas, saya sontak teringat Mbah Minah, nenek-nenek di Purwokerto yang divonis 1,5 bulan karena mengambil 3 buah kakao. Saya tidak tahu-menahu tentang hukum karena saya memang bukan ahli hukum. Saya hanya bertanya-tanya, apakah memang ada perbedaan antara penggelapan dengan pencurian. Menurut saya, keduanya setali tiga uang. Mencuri berarti mengambil barang yang bukan miliknya; sedangkan menggelapkan berarti korupsi. Korupsi artinya mengambil barang atau uang atau hal-hal lain yang juga bukan miliknya. Jadi, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara mencuri dengan menggelapkan. Dalam kasus Jaksa Ester, ia mengambil 300 buah ekstasi yang bukan miliknya; berarti Ester mencuri walaupun istilah yang dipakai adalah penggelapan.

Yang menjadi pertanyaan, sama-sama terhadap tindakan pencurian, mengapa tuntutan dan vonis yang dijatuhkan terhadap Jaksa Ester dan Mbah Minah sangat tidak proporsional? Saya coba berhitung, 3 buah kakao kalau mau diuangkan mungkin sekitar Rp3.000,00; 300 ekstasi saya tidak tahu berapa harganya. Tapi, seandainya per butir ekstasi bisa dijual Rp10.000,00 saja; ekstasi yang digelapkan Jaksa Ester seharga Rp3.000.000,00.

Di situlah hati saya memberontak, betapa tidak adilnya vonis itu. Mbah Minah mencuri 3 buah kakao seharga Rp3.000,00 divonis 1 bulan 15 hari. Kalau mau adil dan proporsional, Jaksa Ester yang menggelapkan ekstasi seharga Rp3.000.000,00 mestinya divonis minimal 1.500 bulan atawa 125 tahun. Tapi, mengapa ia hanya divonis 1 tahun? Apalagi, Ester adalah seorang penegak hukum yang tahu persis apa artinya perbuatan mencuri; berbeda sekali dengan Mbah Minah yang hanya seorang petani kecil. Apalagi pula, Jaksa Ester menggelapkan ekstasi itu untuk dijual; sementara Mbah Minah mengambil tiga buah kakao untuk ditanam.

Saya merasa menjadi begitu bodoh berpikir soal keadilan dalam kedua kasus di atas. Demi keadilan dan proporsionalitas, seandainya saya jadi jaksa penuntut, saya akan tuntut Jaksa Ester 200 tahun. Logika pikirnya jelas: secara legalistis tindakannya sama dengan tindakan Mbah Minah, nilai barang yang dicuri Jaksa Ester 1000 kali lebih besar daripada nilai barang yang diambil Mbah Minah; ditambah lagi: Jaksa Ester adalah seorang penegak hukum yang mestinya berperilaku lebih baik daripada orang yang tidak mengerti hukum. Jadi, tuntutan saya pasti tidak hanya 1 tahun 6 bulan seperti yang dituntutkan jaksa penuntut.

Kasus Mbah Minah dan Jati Diri Kita

Mbah Minah tentu tak pernah menyangka bahwa akibat memetik tiga buah biji kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan, ia harus berurusan dengan hukum dan akhirnya divonis satu setengah bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto. Usia Mbah Minah 55 tahun. Ia hidup sebagai petani kecil. Menurut pengakuan Mbah Minah, biji kakao itu ia petik untuk ditanam sebagai bibit. Jarak rumah Mbah Minah ke pengadilan sekitar 30 km; untuk itu ia harus mengeluarkan uang transport tidak kurang dari Rp50.000 setiap kali menghadiri sidang. Karena itu, pada dua sidang terakhir hakim mempertimbangkan untuk tidak melakukannya pada beda hari. Bagi Mbah Minah, keputusan itu tentu membantu menghemat uang transport yang Rp50.000 untuk sekali sidang tersebut. Bahkan, di akhir sidang para pengunjung bersaweran untuk membantu transportasi Mbah Minah.

Di depan majelis hakim, Mbah Minah dengan jujur, polos, tak berbelit-belit—tanpa didampingi pengacara—mengakui bahwa dirinya bersalah sekalipun siapa pun tahu bahwa Mbah Minah pasti tak punya niat sedikit pun untuk mencuri. Kalau memang berniat mencuri buah kakao, mana mungkin ia hanya mengambil tiga biji! Lagipula, sesungguhnya ia pun telah meminta maaf kepada mandor perkebunan. Tapi, menurut pengakuan polisi, pihak perusahaan tetap bersikeras membawa kasus itu ke jalur hukum. Menarik bahwa ketika membacakan vonisnya, hakim sampai harus menangis seolah tak tega. Hakim memang kemudian menyatakan bahwa Mbah Minah tidak perlu menjalani vonis itu kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang menyatakan bahwa Mbah Minah harus menjalaninya.

Pengagungan Atas Hak Milik Individual

Siapa pun—kecuali pihak perkebunan—yang menyaksikan sidang tersebut pasti akan merasa trenyuh. Kalau pada akhirnya sebagian khalayak—termasuk hakim—merasa teriris-iris hatinya menyaksikan Mbah Minah diseret ke pengadilan dan divonis bersalah, sebagian adalah bertolak dari gugatan: apalah artinya tiga buah kakao apalagi bagi pemilik sebuah perkebunan kakao seluas lebih dari 200 hektar? Benar bahwa kita tidak dan tidak akan pernah membenarkan kegiatan mencuri barang orang lain sekecil apa pun. Pencurian tetap saja pencurian. Yang menjadi soal adalah, di manakah letak keadilan substansial itu? Keadilan substansial adalah keadilan yang tidak semata-mata didasarkan pada prosedur dan hukum legal-formal. Keadilan substansial adalah keadilan yang juga mempertimbangkan konteks dan bahkan aspek sosiologis masyarakat yang ada.

Jelas bahwa Mbah Minah adalah orang dusun yang tidak melek KUHAP. Besar kemungkinan ketika memetik buah kakao itu Mbah Minah pun bukan tanpa rasa salah. Bila pada akhirnya ia memetik juga buah kakao tersebut, sangat mungkin hal itu didasarkan pada pemikiran sederhana Mbah Minah, “toh bukan untuk dijual!”. Tidakkah dalam konteks kampung terpencil, orang akan dengan enteng memaafkan orang lain yang mengambil hasil tanamnya selama itu hanya sebatas untuk dimakan dan tidak untuk dijual? Bahkan, dalam konteks pedesaan pula, orang dengan sengaja membagi-bagi sebagian hasil panennya kepada para tetangganya?

Sayangnya, pijakan itu dengan sendirinya rontok ketika dihadapkan dengan sebuah hukum formal yang mengagung-agungkan hak milik individual. Dalam konteks pengagung-agungan hak milik individual, barang milik seseorang—tak peduli barang itu akan bermanfaat dan akan dimanfaatkan oleh pemiliknya atau tidak—tak boleh diambil oleh orang lain siapa pun. Perspektif bahwa masyarakat kampung memiliki konteks sosiologisnya sendiri tak mampu diakomodasi oleh hukum legal-formal. Karenanya, tindakan Mbah Minah untuk sekadar “memanfaatkan” buah kakao dengan mudahnya berbalik menjadi sebuah pencurian. Tampaklah bahwa dalam batas-batas tertentu, hukum legal-formal yang dipegang teguh oleh para penegak hukum sesungguhnya telah merobek, menafikan, atau bahkan berpotensi menggerus dan menghilangkan norma sosial yang telah berurat-berakar dalam masyarakat kita. Maka dalam konteks ini, pertanyaan yang perlu diajukan sesungguhnya bukanlah “apakah tindakan Mbah Minah itu secara hukum formal bisa dibenarkan?” melainkan “apakah dalam kasus Mbah Minah hukum formal memang layak dan pantas diterapkan?”


Ancaman terhadap Jati Diri

Kasus Mbah Minah sebenarnya hanya merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kasus di mana hukum formal sering kali bertabrakan dengan norma dan praktik sosial masyarakat kita. Mengenai norma hak milik, misalnya, pada hakikatnya masyarakat kita tidak menganut sistem kepemilikan yang sepenuhnya individual. Sisa-sisa norma tersebut masih tampak jelas pada norma dan konsensus yang masih setia dipraktikkan oleh masyarakat kita hingga saat ini yakni bahwa hak milik individual memang diakui tetapi hak milik tersebut selalu dimaknai dalam konteks sosial. Acara kenduri, sedekah bumi, syukuran dan ruwatan yang masih eksis dalam masyarakat kita hingga saat ini dalam perspektif tertentu merupakan cermin dari norma itu. Celakanya, hukum formal tidak mampu menembus hingga ke perspektif tersebut.

Justru karena itu, dalam kasus vonis terhadap Mbah Minah sebuah gugatan mendasar perlu diajukan: tidakkah dalam batas-batas tertentu penerapan hukum legalistis-formal justru akan mengancam jati diri masyarakat kita? Ketika seorang nenek-nenek miskin mengambil tiga biji buah kakao dari pohon milik orang lain harus diganjar dengan hukuman 1,5 bulan penjara; di manakah tepa salira yang katanya menjadi salah satu ciri masyarakat kita itu? Manakala Jaksa menuntut enam bulan penjara dan menyatakan pikir-pikir atas keputusan hakim memvonis Mbah Minah 1,5 bulan penjara—yang dari perspektif hukum legal-formal seratus persen benar dan sah—di manakah empati itu? Pada saat tiga buah kakao yang relatif tak punya arti bagi pemilik perkebunan harus menyeret seorang nenek-nenek miskin ke pengadilan; di manakah watak pemaaf, watak sosial, dan watak guyup rukun yang selama ini kita bangga-banggakan? Sederet pertanyaan dan pernyataan kritis semacam itu masih bisa diajukan. Muara dari seluruh pertanyaan dan pernyataan itu adalah, ketika sebuah hukum legal-formal bertabrakan dengan konsensus, norma, dan keadilan dasar masyarakat yang ada, niscaya penerapan hukum legal-formal itu akan mengoyak hati nurani. Karena itu, kasus Mbak Minah sesungguhnya tidak sekadar persoalan benar-salah menurut hukum formal; melainkan juga menyangkut etika bahkan paradigma sosial!

Di atas semua itu, perlulah dibangun kesadaran bahwa konsensus, norma, dan praktik sosial masyarakat telah ada jauh sebelum hukum formal ada. Ini berarti bahwa jati diri masyarakat kita sebenarnya melekat pertama-tama pada konsensus, norma, dan praktik sosial yang telah ada tersebut dan bukan pertama-tama pada hukum formal yang kemudian ada. Dengan demikian, pembangunan dan penegakan sistem hukum formal demi hukum itu sendiri, dalam batas-batas tertentu jelas merupakan ancaman bagi jati diri masyarakat. Padahal, kesadaran, revitalisasi dan pengukuhan jati diri tersebut justru merupakan titik tolak dan prasyarat mutlak bagi orientasi masyarakat agar mampu bertahan dan bersaing dalam sebuah masyarakat global seperti sekarang ini. Justru karena itu, dalam perspektif pembangunan masyarakat, penerapan hukum formal demi hukum itu sendiri sesungguhnya kehilangan rohnya!